Thursday, October 11, 2012

Microsoft: Teknologi Mengubah Hubungan Pemerintah dan Warga


Jakarta (ANTARA) - Kemajuan teknologi yang pesat telah mengubah cara pemerintah berhubungan dengan warga negara, pembuat kebijakan kini bisa lebih responsif dalam menanggapi kebutuhan masyarakat. 
"Pembuat kebijakan kini bisa mengetahui aspirasi masyarakat dengan lebih cepat dan lebih responsif tanpa melalui jalur birokrasi yang panjang," kata Chief Researcher and Strategy Office Microsoft, Craig Mundie, dalam acara "Unlocking Indonesia`s Digital Future" di Jakarta, Kamis. 
Mundie dalam acara tersebut memperlihatkan sebuah aplikasi yang mampu menghimpun sekaligus menganalisis data dari media sosial seperti "twitter". Dengan aplikasi itu, pengambil kebijakan bisa mengetahui apa yang diperbincangkan oleh publik sekaligus aspirasinya. 
Hubungan antara warga dan negara seblum adanya teknologi digital, dalam teori sosiolog Jerman Max Weber, mempunyai dua jalur yang berbeda. Warga berhubungan dengan negara melalui partai politik yang mereka pilih dalam pemilihan umum, sementara negara (dalam hal ini pemerintah) berhubungan dengan masyarakat melalui birokrasi. 
Namun, pemilihan umum hanya berlangsung lima atau empat tahun sekali sementara birokrasi seringkali dinilai lamban dan koruptif. 
"Sekarang, hanya dengan mengumpulkan dan menganalisis data-data publik yang tersedia di media sosial, aspirasi masyarakat dapat diketahui dalam hitungan detik," kata Mundie. 
Mundie mengatakan bahwa hubungan warga dan negara akan lebih dekat jika tersedia sebuah sistem yang menyimpan data mengenai identitas warga secara lengkap, mulai dari pendidikan, penghasilan, sampai perilaku kosumsi. 
"Dengan adanya sistem identitas yang lengkap, pemerintah dapat mengatur warganya dengan lebih baik karena kebijakan yang dibuat berdasarkan informasi yang valid," kata Mundie. 
Sebelumnya, majalah Time dalam edisi "The Wireless Issue" melaporkan bagaimana teknologi yang lebih sederhana di Uganda bisa mengatur ulang kontrak sosial antara pemerintah dengan warganya. 
Di negara subsahara Afrika itu, salah satu badan PBB, UNICEF, melatih 140.000 orang untuk mengirimkan pesan singkat ("Short Message Service"-SMS) mengenai kebutuhan obat-obat dan persediaan air di daerahnya. 
SMS yang masuk ke pusat data selanjutnya diolah sehingga pengiriman obat akan lebih cepat dan tepat sasaran sesuai kebutuhan masing-masing daerah, mengingat hanya ada 131 rumah sakit yang melayani warga negara Uganda yang berjumlah sekitar 36 juta jiwa. 
Laporan-laporan itu kemudian berkembang bukan hanya sebatas kebutuhan obat dan persediaan air melainkan juga kondisi jalan dan infrastruktur publik lainnya sehingga pemerintah lebih cepat bertindak untuk memperbaiki kerusakan. 
"Sebelumnya, hanya untuk mengetahui apakah sumur di suatu desa masih bisa dugunakan, kami harus menghabiskan waktu beberapa hari di jalan untuk mencapai tempat itu," kata pejabat UNICEF di Uganda Sean Blaschke sebagaimana dikutip dari Time. 
Dengan teknologi dari telephon genggan dengan harga terjangkau, Blaschke mengatakan, telah terjadi perubahan kontrak sosial antara warga dan negara yang mirip seperti revolusi.(ar)

No comments:

Post a Comment